FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEORANG AKUNTAN PUBLIK MENJAGA PROFESIONALITAS KERJANYA

LANDASAN TEORI
A.      Orientasi Etika
1.       Pengertian Orientasi Etika Forsyth (1980) dalam Aziza dan Salim (2008) berpendapat bahwa orientasi etika adalah tujuan utama perilaku profesional yang berkaitan erat dengan moral dan nilai-nilai yang berlaku dan digerakkan oleh dua karakteristik yaitu idealisme dan relativisme. Idealisme berhubungan dengan tingkat dimana individual percaya bahwa konsekuensi yang diinginkan tanpa melanggar kaidah moral. Sikap idealis juga diartikan sebagai sikap tidak memihak dan terhindar dari berbagai kepentingan. Seorang akuntan yang tidak bersikap idealis hanya mementingkan dirinya sendiri agar mendapat fee yang tinggi dengan meninggalkan sikap independensi. Di sisi lain, sikap relativisme secara implisit menolak moral absolut pada perilakunya. Konsep idealisme dan relativisme tidak berlawanan, namun menunjukkan dua skala yang terpisah, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 tentang klasifikasi orientasi etika.

Orientasi setiap individu ditentukan oleh kebutuhannya dan kebutuhan tersebut berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai individu yang akan menentukan harapan-harapan atau tujuan dalam setiap perlakuannya sehingga pada akhirnya individu tersebut menentukan tindakan apa yang akan diambilnya.


2.       Etika Etika profesi dikeluarkan oleh organisasi profesi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya bagi masyarakat. Etika profesi merupakan suatu konsensus dan dinyatakan secara tertulis atau formal dan selanjutnya disebut sebagai “kode etik”, disebut juga kode etik akuntan bagi etika profesional praktik akuntan. Secara umum etika merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindaknya seseorang sehingga apa yang akan dilakukannya dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Pembahasan mengenai etika, tidak lepas dari pembahasan mengenai moral. Moral adalah sikap mental dan emosional yang dimiliki individu sebagai anggota kelompok sosial dalam melakukan tugas-tugas atau fungsi yang diharuskan kelompoknya secara loyalitas pada kelompoknya (Sukamto, 1991).

3.       Prinsip Etika Prinsip etika profesi dalam Kode Etik IAI menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggungjawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku proefsionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Adapun prinsip etikarmasuk: tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehatihatian professional, kerahasiaan, perilaku professional dan standar teknis.

4.       Aturan Etika Aturan etika dalam Ikatan Akuntan Indonesia secara khusus ditujukan untuk mengatur perilaku profesional yang menjadi anggota kompartemen Akuntan publik. Aturan etika ini harus diterapkan oleh anggota Insitut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Adapun aturan etika yang harus ditaati adalah: independensi, integritas dan obyektivitas, kepatuhan terhadap standar, tanggung jawab terhadao klien, tanggung jawab kepada rekan seprofesi dan tanggung jawab dengan praktik lain.

B.      Kompetensi Auditor
Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Seangkan, standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit akan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
Oleh karena itu, maka setiap auditor wajib memiliki kemahiran profesionalitas dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor. Ketrampilan dari seorang ahli yang memiliki tingkat ketrampilan tertentu atau pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan dan pengalaman serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Pengalaman audit yang cukup eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama. (Sri Lastanti, 2005:88) Sudut pandang auditor individual, audit tim dan Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam menilai kompetensi adalah: kompetensi auditor individual dan kompetensi audit tim. Selain itu, adanya perhatian dari partner dan manajer pada penugasan ditemukan memiliki kaitan dengan kualitas audit. Kompetensi besaran KAP sering diukur dari jumlah klien dan persentase dari audit fee dalam usaha mempertahankan kliennya untuk tidak berpindah pada KAP yang lain.Lebih spesifik terdapat 5 (lima) tahapan yang membedakan proses keahlian auditor, yaitu:
a)       Tahap Novice yaitu tahapan dalam mengenal terhadap kenyataan dan membuat pendapat hanya berdasarkan aturan-aturan yang tersedia. Keahlian tahap pertama ini biasanya dimiliki oleh keahlian para staf audit pemula yang baru lulus dari perguruan tinggi.
b)      Tahap advanced beginner, pada tahap ini auditor sangat bergantung pada aturan dan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk merasionalkan segala tindakan audit, namun demikian, auditor pada tahap ini mulai dapat membedakan aturan yang sesuai dengan suatu tindakan.
c)       Tahap Competence, pada tahap ini auditor harus mempunyai cukup pengalaman untuk menghadapi situasi yang kompleks. Tindakan yang diambil disesuaikan dengan tujuan yang ada dalam pikirannya dan kurang sadar terhadap pemilihan, penerapan, dan prosedur aturan audit.
d)      Tahap disebut Profiency, pada tahap ini segala sesuatu menjadi rutin, sehingga dalam bekerja auditor cenderung tergantung pada pengalaman yang lalu. Disini instuisi mulai digunakan dan pada akhirnya pemikiran audit akan terus berjalan sehingga diperoleh analisis yang substansial.
e)      Tahap expertise, pada tahap ini auditor mengetahui sesuatu karena kematangannya dan pemahamannya terhadap praktek yang ada. Auditor sudah dapat membuat keputusan atau menyelesaikan suatu permasalahan.
Dengan demikian segala tindakan auditor pada tahap ini sangat rasional dan mereka bergantung pada instuisinya bukan pada peraturanperaturan yang ada. Walaupun terdapat beberapa definisi diatas, secara umum belum masih terdapat perbedaan ada kesepakatan mengeani definisi keahlian diantara peneliti. Konsekuensinya, konsep dari keahlian harus dioperasikan dengan melihat beberpa variabel atau ukuran.Dalam prakteknya, definsi keahlian sering ditunjukkan dengan pengakuan resmi (official recognition) seperti kecerdasan partner dan penerimaan konsensus (consensual acclamation) seperti prngakuan terhadap seorang spesialis pada industri tertentu, tanpa adanya suatu daftar resmi dari atributatribut keahlian (Mayangsari, 2003)

C.      Independensi Auditor
Independensi secara esensial merupakan sikap pikiran seseorang yang dicirikan oleh pendekatan integritas dan obyektivitas tugas profesionalnya. Independensi adalah suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Meskipun integritas dan obyektivitas tidak dapat diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang mendasar bagi profesi akuntan publik. Integritas merupakan prinsip moral yang tidak memihak, jujur, memandang dan mengemukakan fakta seperti apa adanya. Dalam melaksanakan pemeriksaan akuntan, akuntan publik memperoleh kepercayaan diri dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa harus bersikap independen terhadap kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan akuntan publik itu sendiri. Kegagalan auditor mempertahankan sikap independensinya, maka anggapan masyarakat bahwa semua akuntan publik tidak independen. Kecurigaan tersebut dapat berakibat berkurang atau hilangnya kredibilitas masyarakat terhadap jasa audit profesi auditor independen. Dalam aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik (2001) disebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Selain itu benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan pertimbangannya kepada pihak lain.

D.      Kualitas Audit
Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal, yaitu kompetensi (keahlian) dan independensi, kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas dan secara potensial saling mempengaruhi. Persepsi pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan fungsi dari persepsi mereka atas independensi dan keahlian auditor. Kualitas audit sebagai kemungkinan bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi dengan pengetahuan dan keahlian auditor. Sedangkan pelaporan pelanggaran tergantung kepada dorongan auditor untuk mengungkapkan pelanggaran tersebut. Dorongan ini akan tergantung pada independensi yang dimiliki oleh auditor tersebut.
Dari pengertian tentang kualitas audit di atas bahwa auditor dituntut oleh pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan pendapat tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan untuk dapat menjalankan kewajibannya ada tiga komponen yang harus dimiliki auditor yaitu kompetensi (keahlian), independensi, dan due professional care. Tetapi dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen mungkin ingin hasil operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil yang tergambar dengan data yang lebih tinggi dengan maksud untuk mendapatkan penghargaan (misalkan bonus). Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen perusahaan melakukan tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang dihasilkan itu sesai dengan keinginan klien. Auditor memiliki posisi yang strategis baik di mata manajemen maupun di mata pemakai laporan keuangan. Selain itu pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil pekerjaan auditor dalam mengaudit laporan keuangan. Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keungan auditan dan jasa yang diberikan auditor mengharuskan auditor memperhatikan kualitas audit yang dilakukannya.




Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Skeptisme Profesional Auditor Kompetensi
Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan Kompetesi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Standar Auditing Seksi 130 (Institute Akuntan Publik Indonesia 2011) menjelaskan tentang Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian professional. Antara lain:
1.                  Memelihara pengetahuan dan keahlian professional yang dibutuhkan untuk menjamin pemberian jasa professional yang kompoten kepada klien atau pemberi kerja
2.                  Menggunkan kemahiran profeionalnya dengan saksama sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya. 

Pengembangan Hipotesis:

1.      Pengaruh Situasi Audit terhadap Skeptisisme Profesional Auditor 
Menurut Gusti dan Ali (2008) faktor situasi audit dibagi atas 2 macam, yaitu situasi audit yang memiliki risiko rendah dan situasi yang memiliki risiko tinggi. Dalam situasi tertentu, risiko terjadinya kesalahan dan penyajian yang salah dalam akun dan dalam laporan keuangan jauh lebih besar dibandingkan dengan sebagai suatu situasi dimana terdapat ketidakberesan atau kecurangan yang dilakukan dengan sengaja. Seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (situasi irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya. Ketika auditor dihadapkan pada sebuah situasi audit yang semakin berisiko maka tentunya auditor akan lebih hati-hati dalam memberikan hasil auditnya, sehingga muncul opini audit yang lebih baik. Situasi lain yang sering dihadapi auditor adalah kualitas komunikasi dengan klien. Dalam melaksanakan prosedur audit hingga pemberian opini audior harus mengumpulkan bukti-bukti sebagai dasar pemberian opini. Bukti-bukti itu termasuk informasi dari klien. Sikap klien yang merahasiakan atau tidak menyajikan informasi akan menyebabkan keterbatasan ruang lingkup audit, dalam menghadapi situasi ini, maka auditor harus meningkatkan skeptisisme profesionalnya agar opini yang diberikan tepat. Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suraida (2005), dan Silalahi (2013), yang menyatakan bahwa situasi audit mempunyai pengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, dalam pelaksanaan tugasnya, auditor seringkali dihadapkan dengan serangkaian situasi yang mempengaruhi sikap dan keputusan yang ditetapkannya. Situasi tersebut termasuk lingkungan di mana auditor itu bekerja, situasi yang dialami oleh klien seperti klien yang baru pertama kali diaudit, situasi kemungkinan adanya motivasi manajemen untuk menarik investor diduga akan mempengaruhi auditor dalam memberikan opini. Situasi audit menuntut seorang auditor untuk bersikap dimana mereka akan menjumpai risiko yang diakibatkan oleh kesalahan ataupun kecurangan, yang menyebabkan auditor untuk lebih kritis dan meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya. Berdasarkan penjelasan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 
H1 : Situasi audit berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor. 

2.      Pengaruh Keahlian terhadap Skeptisisme Profesional Auditor 
Keahlian audit mencakup seluruh pengetahuan auditor akan dunia audit itu sendiri, tolak ukurnya adalah tingkat sertifikasi pendidikan, dan jenjang pendidikan sarjana formal (Gusti dan Ali, 2008). Auditor yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi akan berperilaku pantas sesuai dengan presepsi serta ekspektasi orang lain dan lingkungan tempat auditor bekerja. Auditor harus menggunakan keahliannya dengan cermat untuk rencanakan prosedur audit dan opini yang akurat. Hasil penelitian Suraida (2005) menyatakan bahwa keahlian mempunyai pengaruh terhadap ketepatan pemberian opini audit. Jika auditor mampu memberikan opini audit yang tepat, maka dapat dikatakan sikap skeptisisme profesional yang dimiliki cukup tinggi, karena auditor akan mampu mengungkap kecurangan dalam sebuah laporan keuangan. Seorang auditor dapat dikatakan ahli ketika auditor dapat melakukan proses pengumpulan dan evaluasi bukti informasi audit untuk menentukan dan melaporkan kesesuaian antara informasi bukti audit dan kriteria yang telah ditetapkan. Sehingga, dalam proses tersebut auditor harus menggunakan sikap skeptisisme profesional auditornya. Karena, berdasarkan teori dapat ditarik kesimpulan semakin tinggi tingkat keahlian yang dimiliki auditor maka skeptisisme profesional auditor yang dimiliki juga akan semakin meningkat. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Darmawan (2015), yang menyatakan keahlian secara parsial berpengaruh terhadap Skeptisisme Professional Auditor. Berdasarkan penjelasan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Keahlian berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor.

3.      Pengaruh Independensi terhadap Skeptisisme Profesional Auditor
Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya (Mulyadi, 2009). Sikap mental independen inilah sangat penting dalam prosedur audit yang harus dimiliki oleh setiap auditor. Sikap ini tentunya sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Oleh karena itu, untuk menghasilkan laporan audit yang berkualitas diperlukan sikap independen dari auditor karena jika seorang auditor kehilangan independensinya, maka laporan audit yang dihasilkan tidak sesuai dengan kenyatan yang ada, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan. Hal ini ditunjukkan dengan penelitian Rahayu (2016), yang menyatakan independensi auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi independensi yang dimiliki oleh seorang auditor maka kualitas audit yang dihasilkan juga akan semakin baik. Jika auditor mampu menghasilkan kualitas audit yang baik maka dapat dikatakan auditor dapat melaporkan kecurangan dan adanya pelanggaran dalam laporan auditan nya. Dalam melakukan pendeteksian kecurangan dan kekeliruan laporan keuangan, terkadang auditor tidak mudah untuk mempertahankan sikap independensinya, dikarenakan oleh banyak faktor seperti hubungan usaha dengan klien, dan persaingan antar KAP lain. Dengan kondisi tersebut, maka independensi seorang auditor harus tetap terjaga agar menghasilkan hasil audit yang baik dan mendapat kepercayaan dari pihak lain/masyarakat, sehingga laporan keuangan yang telah diaudit akan dipandang tidak memihak atau menyimpang. Jika seorang auditor memiliki independen yang baik dapat diartikan auditor tersebut telah memegang teguh skeptisisme profesionalnya dan akan menghasilkan kualitas audit yang baik pula. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Attamimi (2015) yang menyatakan independensi menunjukkan hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat indepensensi yang dimiliki maka skeptisisme profesioanal auditor juga akan semakin meningkat. Berdasarkan penjelasan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 
H3 : Independensi berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor 

4.      Pengaruh Pengalaman Audit terhadap Skeptisisme Profesional Auditor 
Pengalaman seorang auditor juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor karena auditor yang lebih berpengalaman dapat mendeteksi adanya kecurangan-kecurangan pada laporan keuangan, selain itu cara pandang dalam penyelesaian masalah bagi auditor yang berpengalaman lebih baik dari pada auditor yang kurang berpengalaman. Semakin tinggi pengalaman audit diduga akan berpengaruh terhadap skeptisisme profesional seorang auditor sehingga semakin tepat dalam memberikan opini atas laporan keuangan (Gusti dan Ali, 2008). Pernyataan tersebut juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suraida (2005), yang menyatakan pengalaman audit berpengaruh positif terhadap ketepatan pemberian opini akuntan publik baik secara parsial maupun secara simultan. Semakin sering dan lama auditor melakukan audit maka auditor tersebut secara tidak langsung telah mengalami suatu pembelajaran di lapangan untuk menangani suatu kesalahan atau kecurangan yang terjadi. Dengan pengalaman yang dimiliki auditor maka akan mempengaruhi skeptisisme profesional auditor. Pernyataan ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktania (2013), yang menyatakan pengalaman audit berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Dengan demikian, auditor yang memiliki pengalaman audit yang tinggi maka akan memiliki keunggulan dalam mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan, dan mencari penyebab munculnya kesalahan yang terjadi. Sehingga, pengalaman merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah profesi yang membutuhkan sikap skeptisisme yang tinggi seperti akuntan publik. Berdasarkan penjelasan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 
H4 : Pengalaman audit berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor. 

5.      Pengaruh Time Budget Pressure terhadap Skeptisisme Profesional Auditor 
Menurut De Zoort dan Lord (2002), tekanan anggaran waktu ialah tekanan yang muncul dari terbatasnya sumber daya yang dimiliki dalam menyelesaikan pekerjaan, dalam hal ini diartikan sebagai waktu yang diberikan untuk menyelesaikan tugas. Pada tingkat time budget pressure yang terlalu tinggi atau ketat akan menghasilkan biaya audit yang rendah, akan tetapi menurunkan kinerja auditor. Sedangkan pada tingkat time budget pressure yang terlalu rendah akan mengakibatkan meningkatnya biaya audit sehingga mengakibatkan KAP berpotensi untuk kehilangan klien selain itu time budget yang berlebihan akan mengurangi efektivitas kinerja auditor karena dengan banyaknya waktu auditor cenderung bermalas-malasan dan memiliki banyak waktu menganggur. Ketika auditor berada dalam time budget pressure yang terlalu tinggi maka akan sedikit waktu yang disediakan, maka makin besar pula transaksi yang tidak diuji oleh auditor. Jika banyak transaksi yang tidak diuji maka dapat disimpulkan auditor memiliki sikap skeptisisme yang rendah atau buruk dan akan berdampak pada pemberian opini yang akan dikeluarkan karena tidak dapat mendeteksi kecurangan yang ada. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Anggriawan (2014), yang menyatakan bahwa tekanan waktu dalam melaksanakan audit mempengaruhi keberhasilan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Auditor yang diberikan waktu terbatas dalam melaksanakan audit memiliki tingkat keberhasilan yang rendah dalam mendeteksi kecurangan. Hasil penelitian nya menunjukkan terdapat pengaruh negatif antara tekanan waktu terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi fraud yang berarti semakin tinggi tekanan waktu yang dihadapi seorang auditor maka kemampuan auditor dalam mendeteksi fraud akan semakin menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Attamimi (2015) juga menunjukkan time budget pressure berpengaruh negatif dan berpengaruh signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat time budget pressure maka akan mengakibatkan rendahnya skeptisisme profesional auditor. Berdasarkan penjelasan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 
H5 : Time Budget Pressure berpengaruh negatif terhadap skeptisisme profesional auditor.

SUMBER:

PENGARUH ORIENTASI ETIKA, KOMPETENSI, DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT (Studi Kasus Pada Kantor Akuntan Publik Hadiono, Yogyakarta) Dwi Saptianingrum1 dan Luluk Kholisoh2 file:///C:/Users/R14/Downloads/61-121-1-SM%20(4).pdf


A'yun, Qurrotu. 2017. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Skeptisme Profesional Auditor: Studi Kasus Akuntan Publik di Surabaya. Surabaya: Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol.6, Nomer 7, Juli 2017 https://ejournal.stiesia.ac.id/jira/article/view/3290/2807

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelaku dan Peran Ekonomi Mikro dan Makro

SISTEM PEREKONOMIAN

My First Experience in PKL Program