FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEORANG AKUNTAN PUBLIK MENJAGA PROFESIONALITAS KERJANYA
LANDASAN TEORI
A.
Orientasi Etika
1.
Pengertian Orientasi Etika Forsyth (1980) dalam
Aziza dan Salim (2008) berpendapat bahwa orientasi etika adalah tujuan utama
perilaku profesional yang berkaitan erat dengan moral dan nilai-nilai yang
berlaku dan digerakkan oleh dua karakteristik yaitu idealisme dan relativisme.
Idealisme berhubungan dengan tingkat dimana individual percaya bahwa
konsekuensi yang diinginkan tanpa melanggar kaidah moral. Sikap idealis juga
diartikan sebagai sikap tidak memihak dan terhindar dari berbagai kepentingan.
Seorang akuntan yang tidak bersikap idealis hanya mementingkan dirinya sendiri
agar mendapat fee yang tinggi dengan meninggalkan sikap independensi. Di sisi
lain, sikap relativisme secara implisit menolak moral absolut pada perilakunya.
Konsep idealisme dan relativisme tidak berlawanan, namun menunjukkan dua skala
yang terpisah, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 tentang klasifikasi orientasi
etika.
Orientasi
setiap individu ditentukan oleh kebutuhannya dan kebutuhan tersebut
berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai individu yang akan menentukan
harapan-harapan atau tujuan dalam setiap perlakuannya sehingga pada akhirnya
individu tersebut menentukan tindakan apa yang akan diambilnya.
2.
Etika Etika profesi dikeluarkan oleh organisasi
profesi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya
bagi masyarakat. Etika profesi merupakan suatu konsensus dan dinyatakan secara
tertulis atau formal dan selanjutnya disebut sebagai “kode etik”, disebut juga
kode etik akuntan bagi etika profesional praktik akuntan. Secara umum etika
merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindaknya
seseorang sehingga apa yang akan dilakukannya dipandang oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang.
Pembahasan mengenai etika, tidak lepas dari pembahasan mengenai moral. Moral
adalah sikap mental dan emosional yang dimiliki individu sebagai anggota
kelompok sosial dalam melakukan tugas-tugas atau fungsi yang diharuskan
kelompoknya secara loyalitas pada kelompoknya (Sukamto, 1991).
3.
Prinsip Etika Prinsip etika profesi dalam Kode
Etik IAI menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik,
pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi
tanggungjawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan
perilaku proefsionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku
terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Adapun prinsip
etikarmasuk: tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, obyektivitas,
kompetensi dan kehatihatian professional, kerahasiaan, perilaku professional
dan standar teknis.
4.
Aturan Etika Aturan etika dalam Ikatan Akuntan
Indonesia secara khusus ditujukan untuk mengatur perilaku profesional yang
menjadi anggota kompartemen Akuntan publik. Aturan etika ini harus diterapkan
oleh anggota Insitut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Adapun aturan etika yang
harus ditaati adalah: independensi, integritas dan obyektivitas, kepatuhan
terhadap standar, tanggung jawab terhadao klien, tanggung jawab kepada rekan
seprofesi dan tanggung jawab dengan praktik lain.
B.
Kompetensi Auditor
Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2001) menyebutkan
bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau yang memiliki keahlian dan
pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Seangkan, standar umum ketiga (SA
seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit akan
penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya
dengan cermat dan seksama.
Oleh karena itu, maka setiap auditor wajib memiliki kemahiran
profesionalitas dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor.
Ketrampilan dari seorang ahli yang memiliki tingkat ketrampilan tertentu atau
pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan dan
pengalaman serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang
ditunjukkan dalam pengalaman audit. Pengalaman audit yang cukup eksplisit dapat
melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama. (Sri Lastanti, 2005:88)
Sudut pandang auditor individual, audit tim dan Kantor Akuntan Publik (KAP)
dalam menilai kompetensi adalah: kompetensi auditor individual dan kompetensi
audit tim. Selain itu, adanya perhatian dari partner dan manajer pada penugasan
ditemukan memiliki kaitan dengan kualitas audit. Kompetensi besaran KAP sering
diukur dari jumlah klien dan persentase dari audit fee dalam usaha
mempertahankan kliennya untuk tidak berpindah pada KAP yang lain.Lebih spesifik
terdapat 5 (lima) tahapan yang membedakan proses keahlian auditor, yaitu:
a)
Tahap Novice yaitu tahapan dalam mengenal
terhadap kenyataan dan membuat pendapat hanya berdasarkan aturan-aturan yang
tersedia. Keahlian tahap pertama ini biasanya dimiliki oleh keahlian para staf
audit pemula yang baru lulus dari perguruan tinggi.
b)
Tahap advanced beginner, pada tahap ini auditor
sangat bergantung pada aturan dan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk
merasionalkan segala tindakan audit, namun demikian, auditor pada tahap ini
mulai dapat membedakan aturan yang sesuai dengan suatu tindakan.
c)
Tahap Competence, pada tahap ini auditor harus
mempunyai cukup pengalaman untuk menghadapi situasi yang kompleks. Tindakan
yang diambil disesuaikan dengan tujuan yang ada dalam pikirannya dan kurang
sadar terhadap pemilihan, penerapan, dan prosedur aturan audit.
d)
Tahap disebut Profiency, pada tahap ini segala
sesuatu menjadi rutin, sehingga dalam bekerja auditor cenderung tergantung pada
pengalaman yang lalu. Disini instuisi mulai digunakan dan pada akhirnya
pemikiran audit akan terus berjalan sehingga diperoleh analisis yang
substansial.
e)
Tahap expertise, pada tahap ini auditor
mengetahui sesuatu karena kematangannya dan pemahamannya terhadap praktek yang
ada. Auditor sudah dapat membuat keputusan atau menyelesaikan suatu permasalahan.
Dengan demikian
segala tindakan auditor pada tahap ini sangat rasional dan mereka bergantung
pada instuisinya bukan pada peraturanperaturan yang ada. Walaupun terdapat
beberapa definisi diatas, secara umum belum masih terdapat perbedaan ada kesepakatan
mengeani definisi keahlian diantara peneliti. Konsekuensinya, konsep dari
keahlian harus dioperasikan dengan melihat beberpa variabel atau ukuran.Dalam
prakteknya, definsi keahlian sering ditunjukkan dengan pengakuan resmi
(official recognition) seperti kecerdasan partner dan penerimaan konsensus
(consensual acclamation) seperti prngakuan terhadap seorang spesialis pada
industri tertentu, tanpa adanya suatu daftar resmi dari atributatribut keahlian
(Mayangsari, 2003)
C.
Independensi Auditor
Independensi secara esensial merupakan sikap pikiran seseorang
yang dicirikan oleh pendekatan integritas dan obyektivitas tugas
profesionalnya. Independensi adalah suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan
integritas dan objektivitas. Meskipun integritas dan obyektivitas tidak dapat
diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang mendasar bagi profesi
akuntan publik. Integritas merupakan prinsip moral yang tidak memihak, jujur,
memandang dan mengemukakan fakta seperti apa adanya. Dalam melaksanakan pemeriksaan
akuntan, akuntan publik memperoleh kepercayaan diri dari klien dan para pemakai
laporan keuangan untuk membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan
disajikan oleh klien. Oleh karena itu, dalam memberikan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan yang diperiksa harus bersikap independen terhadap
kepentingan klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan
akuntan publik itu sendiri. Kegagalan auditor mempertahankan sikap
independensinya, maka anggapan masyarakat bahwa semua akuntan publik tidak
independen. Kecurigaan tersebut dapat berakibat berkurang atau hilangnya
kredibilitas masyarakat terhadap jasa audit profesi auditor independen. Dalam
aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik (2001) disebutkan bahwa dalam menjalankan
tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di
dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional
Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus
meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in
appearance). Selain itu benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak
boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang
diketahuinya atau mengalihkan pertimbangannya kepada pihak lain.
D.
Kualitas Audit
Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal, yaitu kompetensi (keahlian)
dan independensi, kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas dan
secara potensial saling mempengaruhi. Persepsi pengguna laporan keuangan atas
kualitas audit merupakan fungsi dari persepsi mereka atas independensi dan
keahlian auditor. Kualitas audit sebagai kemungkinan bahwa auditor akan
menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi dengan pengetahuan
dan keahlian auditor. Sedangkan pelaporan pelanggaran tergantung kepada
dorongan auditor untuk mengungkapkan pelanggaran tersebut. Dorongan ini akan
tergantung pada independensi yang dimiliki oleh auditor tersebut.
Dari pengertian tentang kualitas audit di atas bahwa auditor
dituntut oleh pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk memberikan
pendapat tentang kewajaran pelaporan keuangan yang disajikan oleh manajemen
perusahaan untuk dapat menjalankan kewajibannya ada tiga komponen yang harus
dimiliki auditor yaitu kompetensi (keahlian), independensi, dan due
professional care. Tetapi dalam menjalankan fungsinya, auditor sering mengalami
konflik kepentingan dengan manajemen perusahaan. Manajemen mungkin ingin hasil
operasi perusahaan atau kinerjanya tampak berhasil yang tergambar dengan data
yang lebih tinggi dengan maksud untuk mendapatkan penghargaan (misalkan bonus).
Untuk mencapai tujuan tersebut tidak jarang manajemen perusahaan melakukan
tekanan kepada auditor sehingga laporan keuangan auditan yang dihasilkan itu
sesai dengan keinginan klien. Auditor memiliki posisi yang strategis baik di
mata manajemen maupun di mata pemakai laporan keuangan. Selain itu pemakai
laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil pekerjaan
auditor dalam mengaudit laporan keuangan. Kepercayaan yang besar dari pemakai
laporan keungan auditan dan jasa yang diberikan auditor mengharuskan auditor
memperhatikan kualitas audit yang dilakukannya.
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Skeptisme
Profesional Auditor Kompetensi
Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan Kompetesi kerja adalah kemampuan kerja
setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja
yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Standar Auditing Seksi 130
(Institute Akuntan Publik Indonesia 2011) menjelaskan tentang Prinsip
Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian professional. Antara lain:
1.
Memelihara pengetahuan dan keahlian
professional yang dibutuhkan untuk menjamin pemberian jasa professional yang
kompoten kepada klien atau pemberi kerja
2.
Menggunkan kemahiran profeionalnya dengan
saksama sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam
memberikan jasa profesionalnya.
Pengembangan Hipotesis:
1. Pengaruh Situasi Audit terhadap Skeptisisme
Profesional Auditor
Menurut Gusti dan Ali (2008) faktor
situasi audit dibagi atas 2 macam, yaitu situasi audit yang memiliki risiko
rendah dan situasi yang memiliki risiko tinggi. Dalam situasi tertentu, risiko
terjadinya kesalahan dan penyajian yang salah dalam akun dan dalam laporan
keuangan jauh lebih besar dibandingkan dengan sebagai suatu situasi dimana
terdapat ketidakberesan atau kecurangan yang dilakukan dengan sengaja. Seperti
situasi audit yang memiliki risiko tinggi (situasi irregularities)
mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya.
Ketika auditor dihadapkan pada sebuah situasi audit yang semakin berisiko maka
tentunya auditor akan lebih hati-hati dalam memberikan hasil auditnya, sehingga
muncul opini audit yang lebih baik. Situasi lain yang sering dihadapi auditor
adalah kualitas komunikasi dengan klien. Dalam melaksanakan prosedur audit
hingga pemberian opini audior harus mengumpulkan bukti-bukti sebagai dasar
pemberian opini. Bukti-bukti itu termasuk informasi dari klien. Sikap klien
yang merahasiakan atau tidak menyajikan informasi akan menyebabkan keterbatasan
ruang lingkup audit, dalam menghadapi situasi ini, maka auditor harus
meningkatkan skeptisisme profesionalnya agar opini yang diberikan tepat.
Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suraida
(2005), dan Silalahi (2013), yang menyatakan bahwa situasi audit mempunyai
pengaruh terhadap skeptisisme profesional auditor. Seperti yang sudah
dijelaskan diatas, dalam pelaksanaan tugasnya, auditor seringkali dihadapkan
dengan serangkaian situasi yang mempengaruhi sikap dan keputusan yang
ditetapkannya. Situasi tersebut termasuk lingkungan di mana auditor itu
bekerja, situasi yang dialami oleh klien seperti klien yang baru pertama kali
diaudit, situasi kemungkinan adanya motivasi manajemen untuk menarik investor
diduga akan mempengaruhi auditor dalam memberikan opini. Situasi audit menuntut
seorang auditor untuk bersikap dimana mereka akan menjumpai risiko yang
diakibatkan oleh kesalahan ataupun kecurangan, yang menyebabkan auditor untuk
lebih kritis dan meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya. Berdasarkan
penjelasan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Situasi audit berpengaruh positif terhadap skeptisisme
profesional auditor.
2. Pengaruh Keahlian terhadap Skeptisisme Profesional
Auditor
Keahlian audit mencakup seluruh
pengetahuan auditor akan dunia audit itu sendiri, tolak ukurnya adalah tingkat
sertifikasi pendidikan, dan jenjang pendidikan sarjana formal (Gusti dan Ali,
2008). Auditor yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi akan berperilaku
pantas sesuai dengan presepsi serta ekspektasi orang lain dan lingkungan tempat
auditor bekerja. Auditor harus menggunakan keahliannya dengan cermat untuk
rencanakan prosedur audit dan opini yang akurat. Hasil penelitian Suraida
(2005) menyatakan bahwa keahlian mempunyai pengaruh terhadap ketepatan
pemberian opini audit. Jika auditor mampu memberikan opini audit yang tepat,
maka dapat dikatakan sikap skeptisisme profesional yang dimiliki cukup tinggi,
karena auditor akan mampu mengungkap kecurangan dalam sebuah laporan keuangan.
Seorang auditor dapat dikatakan ahli ketika auditor dapat melakukan proses
pengumpulan dan evaluasi bukti informasi audit untuk menentukan dan melaporkan
kesesuaian antara informasi bukti audit dan kriteria yang telah ditetapkan.
Sehingga, dalam proses tersebut auditor harus menggunakan sikap skeptisisme
profesional auditornya. Karena, berdasarkan teori dapat ditarik kesimpulan
semakin tinggi tingkat keahlian yang dimiliki auditor maka skeptisisme
profesional auditor yang dimiliki juga akan semakin meningkat. Pernyataan ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Darmawan (2015), yang menyatakan
keahlian secara parsial berpengaruh terhadap Skeptisisme Professional Auditor.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Keahlian berpengaruh positif terhadap skeptisisme
profesional auditor.
3. Pengaruh Independensi terhadap Skeptisisme Profesional
Auditor
Independensi berarti sikap mental yang
bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada
orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam
mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan objektif tidak memihak dalam
diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya (Mulyadi, 2009). Sikap
mental independen inilah sangat penting dalam prosedur audit yang harus
dimiliki oleh setiap auditor. Sikap ini tentunya sikap yang diharapkan dari
seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam
melaksanakan tugasnya yang bertentangan dengan prinsip integritas dan
objektivitas. Oleh karena itu, untuk menghasilkan laporan audit yang
berkualitas diperlukan sikap independen dari auditor karena jika seorang
auditor kehilangan independensinya, maka laporan audit yang dihasilkan tidak
sesuai dengan kenyatan yang ada, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pedoman
dalam pengambilan keputusan. Hal ini ditunjukkan dengan penelitian Rahayu
(2016), yang menyatakan independensi auditor berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kualitas audit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi independensi
yang dimiliki oleh seorang auditor maka kualitas audit yang dihasilkan juga
akan semakin baik. Jika auditor mampu menghasilkan kualitas audit yang baik
maka dapat dikatakan auditor dapat melaporkan kecurangan dan adanya pelanggaran
dalam laporan auditan nya. Dalam melakukan pendeteksian kecurangan dan
kekeliruan laporan keuangan, terkadang auditor tidak mudah untuk mempertahankan
sikap independensinya, dikarenakan oleh banyak faktor seperti hubungan usaha
dengan klien, dan persaingan antar KAP lain. Dengan kondisi tersebut, maka
independensi seorang auditor harus tetap terjaga agar menghasilkan hasil audit
yang baik dan mendapat kepercayaan dari pihak lain/masyarakat, sehingga laporan
keuangan yang telah diaudit akan dipandang tidak memihak atau menyimpang. Jika
seorang auditor memiliki independen yang baik dapat diartikan auditor tersebut
telah memegang teguh skeptisisme profesionalnya dan akan menghasilkan kualitas
audit yang baik pula. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Attamimi (2015)
yang menyatakan independensi menunjukkan hubungan yang positif dan berpengaruh
signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat indepensensi yang dimiliki maka skeptisisme profesioanal
auditor juga akan semakin meningkat. Berdasarkan penjelasan diatas maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Independensi berpengaruh positif terhadap
skeptisisme profesional auditor
4. Pengaruh Pengalaman Audit terhadap Skeptisisme
Profesional Auditor
Pengalaman seorang auditor juga menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor karena
auditor yang lebih berpengalaman dapat mendeteksi adanya kecurangan-kecurangan
pada laporan keuangan, selain itu cara pandang dalam penyelesaian masalah bagi
auditor yang berpengalaman lebih baik dari pada auditor yang kurang
berpengalaman. Semakin tinggi pengalaman audit diduga akan berpengaruh terhadap
skeptisisme profesional seorang auditor sehingga semakin tepat dalam memberikan
opini atas laporan keuangan (Gusti dan Ali, 2008). Pernyataan tersebut juga
didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suraida (2005), yang
menyatakan pengalaman audit berpengaruh positif terhadap ketepatan pemberian
opini akuntan publik baik secara parsial maupun secara simultan. Semakin sering
dan lama auditor melakukan audit maka auditor tersebut secara tidak langsung
telah mengalami suatu pembelajaran di lapangan untuk menangani suatu kesalahan
atau kecurangan yang terjadi. Dengan pengalaman yang dimiliki auditor maka akan
mempengaruhi skeptisisme profesional auditor. Pernyataan ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Oktania (2013), yang menyatakan pengalaman audit
berpengaruh positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Dengan demikian,
auditor yang memiliki pengalaman audit yang tinggi maka akan memiliki
keunggulan dalam mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan, dan mencari penyebab
munculnya kesalahan yang terjadi. Sehingga, pengalaman merupakan hal yang
sangat penting bagi sebuah profesi yang membutuhkan sikap skeptisisme yang
tinggi seperti akuntan publik. Berdasarkan penjelasan diatas maka dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H4 : Pengalaman audit berpengaruh positif terhadap
skeptisisme profesional auditor.
5. Pengaruh Time Budget Pressure terhadap Skeptisisme
Profesional Auditor
Menurut De Zoort dan Lord (2002), tekanan anggaran
waktu ialah tekanan yang muncul dari terbatasnya sumber daya yang dimiliki
dalam menyelesaikan pekerjaan, dalam hal ini diartikan sebagai waktu yang
diberikan untuk menyelesaikan tugas. Pada tingkat time budget pressure yang
terlalu tinggi atau ketat akan menghasilkan biaya audit yang rendah, akan
tetapi menurunkan kinerja auditor. Sedangkan pada tingkat time budget pressure
yang terlalu rendah akan mengakibatkan meningkatnya biaya audit sehingga
mengakibatkan KAP berpotensi untuk kehilangan klien selain itu time budget yang
berlebihan akan mengurangi efektivitas kinerja auditor karena dengan banyaknya
waktu auditor cenderung bermalas-malasan dan memiliki banyak waktu menganggur.
Ketika auditor berada dalam time budget pressure yang terlalu tinggi maka akan
sedikit waktu yang disediakan, maka makin besar pula transaksi yang tidak diuji
oleh auditor. Jika banyak transaksi yang tidak diuji maka dapat disimpulkan
auditor memiliki sikap skeptisisme yang rendah atau buruk dan akan berdampak
pada pemberian opini yang akan dikeluarkan karena tidak dapat mendeteksi
kecurangan yang ada. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Anggriawan (2014), yang menyatakan bahwa tekanan waktu dalam melaksanakan
audit mempengaruhi keberhasilan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Auditor
yang diberikan waktu terbatas dalam melaksanakan audit memiliki tingkat
keberhasilan yang rendah dalam mendeteksi kecurangan. Hasil penelitian nya
menunjukkan terdapat pengaruh negatif antara tekanan waktu terhadap kemampuan
auditor dalam mendeteksi fraud yang berarti semakin tinggi tekanan waktu yang
dihadapi seorang auditor maka kemampuan auditor dalam mendeteksi fraud akan
semakin menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Attamimi (2015) juga
menunjukkan time budget pressure berpengaruh negatif dan berpengaruh signifikan
terhadap skeptisisme profesional auditor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat time budget pressure maka akan mengakibatkan rendahnya
skeptisisme profesional auditor. Berdasarkan penjelasan diatas maka dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H5 : Time Budget Pressure berpengaruh negatif terhadap
skeptisisme profesional auditor.
SUMBER:
PENGARUH ORIENTASI ETIKA, KOMPETENSI, DAN INDEPENDENSI AUDITOR
TERHADAP KUALITAS AUDIT (Studi Kasus Pada Kantor Akuntan Publik Hadiono,
Yogyakarta) Dwi Saptianingrum1 dan Luluk Kholisoh2 file:///C:/Users/R14/Downloads/61-121-1-SM%20(4).pdf
A'yun, Qurrotu. 2017. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Skeptisme
Profesional Auditor: Studi Kasus Akuntan Publik di Surabaya.
Surabaya: Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol.6, Nomer 7, Juli 2017 https://ejournal.stiesia.ac.id/jira/article/view/3290/2807
Komentar
Posting Komentar